Pengembangan otonomi desa merupakan konsekuensi dari berbagai tuntutan perkembangan lingkungan global, lingkungan pemerintahan, dan lingkungan sosial masyarakat yang dinamis. Desa sebagai sub sistem pemerintahan nasional, memerlukan adaptasi dan antisipasi terhadap perkembangan tersebut.
Keinginan politik untuk memperkuat dan memberdayakan desa sendiri sudah terlihat sejak awal reformasi. Hal ini tampak dari pesan-pesan yang termuat melalui TAP MPR RI No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah khususnya rekomendasi No.7, yang berbunyi:
“Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melaksanakan revisi yang bersifat mendasar terhadap UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap pasal 18 UUD 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap Provinsi, Kabupaten/Kota serta Desa/Nagari/Marga, dan sebagainya.”
Langkah konkret upaya pengembangan desa antara lain berupa lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan pengganti berbagai peraturan perundangan mengenai pemerintahan desa. Salah satu tujuan dikeluarkannya UU No.32 Tahun 2004
adalah guna memodernisasikan pemerintahan desa agar mampu menjalankan tiga peran utamanya, yaitu sebagai struktur perantara, sebagai pelayan masyarakat serta agen perubahan.
Kegiatan pembangunan nasional dengan segala ukuran keberhasilan dan dampak positif serta negatifnya, tidak terlepas dari kerja keras dan pengabdian aparat pemerintah desa. Meskipun demikian, masih banyak masalah yang dihadapi masyarakat desa yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, ketidakseimbangan struktural ataupun keterbelakangan pendidikan.
Kenyataan ini telah membuktikan bahwa meskipun desa memiliki dua sumberdaya penting yaitu SDM dan SDA, tetapi kesatuan masyarakat hukum tersebut tidak mampu mengubah potensi yang dimilikinya menjadi sebuah kekuatan guna memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pemerintah desa yang diberi kepercayaan masyarakat, tidak cukup mempunyai kewenangan untuk berbuat banyak. Kedudukan dan bentuk organisasinya yang mendua (ambivalen) yaitu antara bentuk organisasi pemerintah dengan lembaga kemasyarakatan, tidak adanya sumber pendapatan yang memadai, keterbatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut rumah tangganya, keterbatasan kualitas dan kuantitas personilnya, merupakan sebagian kendala yang menghambat kinerja pemerintah desa.
Keterbatasan kemampuan pemerintah desa dalam menjalankan fungsi dan peranannya menyebabkan pertumbuhan dan perubahan sosial di desa berjalan lambat. Masyarakat desa cenderung pasif dalam melakukan perubahan sosial. Situasi ini menyebabkan masyarakat desa semakin tergantung pada pihak luar desa.
Selanjutnya, dengan diterapkannya UU No.32 Tahun 2004, diharapkan akan semakin menyempurnakan paradigma penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintah telah mengeluarkan PP No.72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai regulasi yang mengatur tentang Desa setelah setahun berlakunya UU No.32 Tahun 2004. Namun, kelambatan pada proses penetapan peraturan ini telah menimbulkan berbagai permasalahan pada tataran praksis di lapangan. Belum lagi resistensi yang ditimbulkan oleh beberapa substansi dari PP tersebut.
Masalah-masalah seperti, masa jabatan kepala desa serta proses pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, peran dan fungsi Badan Perwakilan Desa yang berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa, pengisian jabatan sekdes oleh PNS, serta sumber pendapatan desa yang berasal dari bagian dana perimbangan yang diterima Kab/Kota, merupakan titik-titik rawan yang dapat memicu konflik. Permasalahan yang tentunya menjadi hambatan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa untuk mengemban misi mensejahterakan masyarakatnya.
Pertimbangan kesejarahan dan adaptasi serta antisipasi terhadpa berbagai tuntutan perkembangan, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan, menjadi dasar pengembangan desa ke depan. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah memberikan landasan sebagai arah pengembangan desa di masa yang akan datang. Beberapa garis kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk pengembangan desa antara lain TAP MPR RI No.IV/MPR/2000 khususnya rekomendasi No.7, pasal 18 ayat (a), (b), dan (c) UUD 1945 Amandemen ke-2, UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Perpres No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Nasional, serta RPJMD atau Rencana Strategis (Renstra) Provinsi dan Kabupaten/kota.
2.1. Gambaran Umum Pemerintahan Desa
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyrakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, sangat jelas bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan megurus kepentingan warganya dalam segala aspek penghidupan desa, baik dlam bidang pelayanan (public good), pengaturan (public regulation) dan pemberdayaan (empowerment). Di samping itu pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat mengandung makna pemeliharaan terhadap hak-hak asli masyarakat desa dengan landasan keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Jadi secara implisit menurut ketentuan ini menegaskan pemerintahan desa adalah bagian dari pemerintahan daerah, yaitu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
2.1.1. Pembentukan, Penghapusan dan/atau Penggabungan Desa serta Perubahan Status Desa
Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat. Pembentukan suatu Desa semestinya tidak hanya sekedar memperhatikan aspek politik semata. Desain pembentukan Desa kedepan harus dibuat standar sebagai syarat terbentuknya suatu Desa yang mampu melaksanakan otonominya.
Lebih lanjut dalam PP No.72 Tahun 2005 tentang desa (pasal 2) disebutkan bahwa pembentukan Desa harus memenuhi syarat antara lain: jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat, serta sarana dan prasarana pemerintahan. Persyaratan ini lebih mudah jika dibandingkan dengan persyaratan pembentukan Desa dalam PP No.76 Tahun 2001 sebelumnya, yang antara lain disebutkan bahwa pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa diatur dalam perda dengan mempertimbangkan luas wilayah, jumlah penduduk, sosial budaya, potensi desa, dan lain-lain (pasal 4).
Pembentukan desa wujudnya berupa: penggabungan beberapa desa (bagian desa yang bersandingan), atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa baru di luar desa yang sudah ada.
Desa dapat diubah dan disesuaikan statusnya menjadi kelurahan. Perubahan dan penyesuaian status berdasarkan: prakarsa pemerintah desa bersama BPD, dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Perubahan status desa menjadi kelurahan memperhatikan persyaratan luas wilayah, jumlah penduduk, sarana dan prasarana pemerintahan, potensi ekonomi, dan kondisi sosial budaya masyarakat.
Desa yang berubah status menjadi kelurahan, lurah dan perangkatnya diisi oleh PNS. Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status desa menjadi kelurahan diatur dengan peraturan daerah Kab/Kota dengan berpedoman pada peraturan menteri. Peraturan Daerah Kab/Kota wajib mengakui dan menghormati hak asal-usul, adat istiadat desa dan sosial budaya masyarakat setempat. Desa yang statusnya berubah menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat. Pendanaan sebagai akibat perubahan status desa menjadi kelurahan dibebankan kepada APBD.
2.1.2. Kewenangan Desa
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; dan
Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Pelaksanaan penyerahan urusan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota diatur dengan perda yang berpedoman pada peraturan menteri. Penyerahan urusan yang menjadi kewenangan Kab/Kota kepada desa disertai dengan pembiayaan (prinsip; no mandate without funding). Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemprov, Pemkab/Pemkot wajib disertai dengan dukungan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta Sumber Daya Manusia (SDM). Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM.
2.1.3. Penyelenggara Pemerintahan Desa
Pemerintahan desa diselenggarakan bersama oleh pemerintah desa dan BPD. Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya, yaitu, sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan.
2.1.3.1. Kepala Desa
a. Pemilihan Kepala Desa dan Masa Jabatan Kepala Desa
Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa bersangkutan. Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya berlaku ketentuan hukum adat setempat. Pemilihan Kepala Desa merupakan hak asal-usul yang merupakan kewenangan asli Desa, sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi yang paling hakiki.
Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Lebih lanjut dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa masa jabatan Kepala Desa dalam ketentuan tersebut dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih ada dan diakui yang ditetapkan dengan perda. Jadi bagi Desa dengan hukum adat yang masih berlaku, tetap diakui keberadaannya dan selanjutnya diatur dengan Peraturan Daerah setempat.
b. Pertanggungjawaban Kepala Desa
Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat Desa yang prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap memberi peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.
2.1.3.2. Sekretaris Desa dan Perangkat Desa Lainnya
Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang persyaratan.
Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan PNS, yang memenuhi persyaratan secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ini selanjutnya diatur dalam PP No.45 Tahun 2007.
Kelebihan Pengisian Sekdes oleh PNS:
Sekdes memiliki kepastian kedudukan kepegawaian, penghasilan serta karir, sehingga dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan prestasi kerja.
Adanya aktor penggerak perubahan dibidang manajemen dan administrasi pemerintahan tingkat Desa.
Adanya aktor penghubung yang dapat menjadi perantara kebijakan perubahan yang datang dari pemerintah supradesa.
Kekurangan Pengisian Sekdes oleh PNS:
Menimbulkan kecemburuan bagi Kades dan perangkat desa lainnya, terutama pada desa-desa yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk memberi insentif bagi perangkat desanya. Kecemburuan ini dapat menimbulkan suasana kontraproduktif.
Rawan manipulasi dalam proses pengisian jabata Sekdes, sehingga dapat menimbulkan konflik.
Intervensi pemerintah supradesa terhadap desa menjadi lebih besar melalui “tanga-tangan” Sekdes.
Terbuka peluang terjadinya konflik antara Kepala Desa dengan Sekdes dalam hal hubungan kerja, apabila tatakerjanya tidak diatur dengan rinci dan dilaksanakan secara konsisten, karena adanya duplikasi komando terhadap Sekdes.
Perangkat Desa lainnya:
Diangkat oleh Kades dari penduduk desa (ketentuan lebih lanjut diatur dengan Perda Kab/Kota)
Ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa
Berusia minimal 20 tahun, maksimal 60 tahun
Perda Kab/Kota tentang Perangkat Desa lainnya harus memuat: persyaratan calon, kedudukan keuangan, uraian tugas, larangan, dan mekanisme pemberhentian
Jumlah perangkat desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
2.1.3.3. Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa
Kepala desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap dan tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa; ditetapkan dalam APBDes (paling sedikit setara dengan UMR Kab/Kota). Lebih lanjut diatur dengan perda Kab/Kota. Perda Kab/Kota memuat rincian jumlah penghasilan, jenis tunjangan, penentuan besar dan pembebanannya.
2.1.3.4. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, yang anggotanya adalah wakil dari penduduk desa setempat berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.
Anggota BPD terdiri dari Ketua RW, Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemuka Agama, dan Tokoh/Pemuka Masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil; minimal 5 orang dan maksimal 11 orang (memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa). Peresmian BPD ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat khusus BPD. Pimpinan dan anggota BPD menerima tunjangan sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Untuk kegiatan BPD disediakan biaya operasional yang dikelola oleh sekretaris BPD yang besarannya ditetapkan dalam APBdes.
Fungsi dan Wewenang BPD
BPD berfungsi:
Menetapkan perdes bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
BPD berwenang:
Membahas ranperdes bersama kades, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perdes dan perkades, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kades, membentuk panitia pilkades, menyalurkan aspirasi masyarakat, menyusun tata tertib BPD.
Hak dan Kewajiban BPD
BPD berhak: meminta keterangan kepada pemerintah desa dan menyatakan pendapat.
Anggota BPD mempunyai hak: mengajukan ranperdes, megajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, serta memperoleh tunjangan.
kewajiban Anggota BPD: mengamalkan Pancasila, menjalankan UUD 1945, dan menaati segala peraturan perundangan, melaksanakan kehidupan demokrasi, menjalankan dan memelihara hukum nasional dan NKRI, menyerap aspirasi masyarakat, memroses pilkades, mendahulukan kepentingan umum, menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat-istiadat masyarakat setempat, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.
Larangan
Pimpinan dan anggota BPD dilarang: bertindak sebagai pelaksana proyek desa, merugikan masyarakat, melakukan KKN, menyalagunakan wewenang, melanggar sumpah dan janji jabatan.
Pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai kades dan perangkat desa.
2.1.4. Pilkades
BPD memberitahukan kepada kades mengenai akan berakhirnya masa jabatan kepala desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum berakhir masa jabatan;
BPD memroses Pilkades, paling lama 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kades;
Syarat Kepala Desa: bertakwa kepada TYME, setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI; berpendidikan minimal SLTP/sederajat; usia minimal 25 tahun; bersedia dicalonkan penduduk desa setempat; tidak pernah dihukum; tidak dicabut hak pilihnya; belum pernah menjabat kades dalam dua kali masa jabatan; memenuhi syarat lain yang diatur dalam perda Kab/Kota.
2.1.5. Peraturan Desa
Ditetapkan Kades bersama BPD
Dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa
Penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat
Dilarang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
Masyarakat berhak memberikan masukan
Disampaikan kepada bupati/walikota melalui camat (paling lambat 7 hari setelah ditetapkan)
Pelaksanaannya dengan perkades/kepkades.
2.1.6. Perencanaan Pembangunan Desa
Perencanaan Pembangunan Desa sebagai suatu kesatuan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan daerah Kabupate/Kota
Disusun secara partisipatif oleh pemdes sesuai dengan kewenangannya
Penyusunan melibatkan lemabaga kemasyarakatan desa
Perencanaan Pembangunan Desa disusun: RPJMDes (untuk 5 tahun), RKPDesa (untuk 1 tahun)
Disusun berdasarkan data dan informasi yang akurat (mencakup penyelenggaraan pemerintahan desa, organisasi dan tata laksana pemerintahan desa, keuangan desa, profil desa, informasi lain yang terkait).
2.1.7. Keuangan dan Kekayaan Desa
APBDes mendanai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa
APBD Kab/Kota mendanai kegiatan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di desa
APBN mendanai kegiatan-kegiatan penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di desa
Keuangan desa bersumber dari: PADesa, bagi hasil pajak daerah kab/kota, bagian dari perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kab/kota (minimal 10%;melalui ADD), bantuan keuangan dari Pemerintah/Provinsi/Kab-Kota (disalurkan melalui kas desa), hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
Kekayaan desa terdiri dari: tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan yang dikelola desa, lain-lain kekayaan milik desa.
2.1.8. APBDesa
Terdiri atas bagian pendapatan desa, belanja desa, dan pembiayaan;
Rencangannya dibahas dalam Musrenbangdes;
Ditetapkan kades bersama BPD, setiap tahun, dengan perdes;
Pedoman penyusunan, perubahan, perhitungan, dan pertanggungjawaban pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota;
Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa;
Pedoman pengelolaan keuangan desa diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.
2.1.9. Badan Usaha Milik Desa
Didirikan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa, sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa;
Ditetapkan dengan perdes berpedoman pada peraturan perundang-undangan;
Berbentuk badan hukum;
Dikelola oleh pemerintah desa;
Modalnya dapat berasal dari: pemdes, tabungan masyarakat, bantuan (pemerintah, pemprov, pemkab/pemkot), pinjaman, dan penyertaan modal dari pihak lain atau kerjasama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan;
Kepengurusan terdiri dari: pemerintah desa dan masyarakat;
Dapat melakukan pinjaman sesuai ketentuan yang berlaku;
Pinjaman harus mendapat persetujuan BPD;
Tatacara pembentukan dan pengelolaan BUMDes diatur dlam Perdakab/Perdakot (memuat bentuk badan hukum, kepengurusan, hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil usaha, kerjasma dengan pihak ketiga, mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban).
2.1.10. Kerjasama Desa
Desa dapat melakukan kerjasama antar desa
Kerjasama yang membebani masyarakat harus mendapat persetujuan BPD
Kerjasama dilakukan sesuai dengan kewenangan desa
Kerjasama meliputi bidang: peningkatan perekonomian masyarakat desa, peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial budaya, trantib, pemanfaatan SDA dan TTG dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
Untuk kepentingan kerjasama dapat dibentuk badan kerjasama
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan perda kab/kota.
2.1.11. Lembaga Kemasyarakatan
Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan perdes
Lembaga kemasyarakatan mempunyai tugas membantu pemerintah desa dan merupak mitra dalam memberdayakan masyarakat desa
Tugas lembaga kemasyarakatan meliputi; menyusun dan mengembangkan rencana pembangunan secara partisipatif; menggerakkan partisipasi, gotong royong dan swadaya masyarakat; menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka pemberdayaan.
Fungsi lembaga kemasyarakatan: menampung aspirasi masyarakat; memupuk persatuan dan kesatuan dalam kerangka NKRI; peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat; menyusun rencana dan mengembangkan pembangunan partisipatif; menumbuhkemabngkan swadaya dan gotong royong masyarakat; pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga; pemberdayaan hak politik masyarakat.
Kegiatan lembaga kemasyarakatan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan masyarakat; peningkatan peran serta masyarakat dlam pembangunan; pengembangan kemitraan; pemberdayaan masyarakat; pengembangan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.
Kepengurusan lembaga kemasyarkatan dipilih secara musyawarah dari anggota masyarakat yang memiliki kemauan, kemampuan, dan kepedulian dalam pemderdayaan masyarakat (susunan dan jumlah pengurus disesuaikan dengan kebutuhan).
Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan pemerintah desa bersifat kemitraan, konsultatif, dan koordinatif.
2.1.12. Pembinaan dan Pengawasan
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan yang ada di desa
Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat wajib membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan yang ada di desa.
2.2. Issue Strategis Pengembangan Otonomi Desa
Beberapa hal yang menjadi faktor penghambat dalam implementasi berbagai program penguatan Otonomi Desa antara lain:
A. Hambatan Eksternal
1. Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam penegembangna kawasan perdesaan;
2. Masih lemahnya koordinasi antar sektor;
3. Dinamika masyarakat yang selalu berubah, termasuk tingginya dinamika sektor ekonomi;
4. Terbatasnya alternatif lapangan kerja yang berkualitas;
5. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial;
6. Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah;
7. Tingginya resiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan;
8. Meningkatnya konversi/alih fungsi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain;
9. Meningkatnya degradasi SDA dan lingkungan hidup.
10. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat.
B. Hambatan Internal
1. Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketerampilan rendah, termasuk yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;
2. Kelembagaan di tingkat desa belum sepenuhnya tertata dengan baik;
3. Pemahaman tugas pokok dan fungsi dari aparat desa yang masih rendah;
4. Lemahnya kemampuan perencanaan di tingkat desa dan masih bersifat parsial (tidak menyeluruh);
5. Terbatas alokasi anggaran/dana, yang berakibat pada terbatasnya operasional program/kegiatan;
6. Sarana dan prasarana penunjang mobilitas operasional terbatas;
7. Pengelolaan administrasi dan dokumentasi yang masih minim;
8. Masih rendahnya pemanfaatan IPTEK dan TTG dalam usaha ekonomi perdesaan;
9. Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan;
10. Kepemilikan lahan yang semakin sempit;
11. Rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan.
Dari berbagai permasalahan di atas, ada 4 (empat) variabel yang diindikasikan sebagai komponen utama yang harus dikembangkan dalam rangka penguatan otonomi desa, yaitu: 1) Tata Kepemimpinan, 2) Tata Pemerintahan Desa, 3) Tata Kemasyarakatan, dan 4) Tata Ruang Desa. Berikut indikator dari masing-masing variabel di atas:
a. Tata Kepemimpinan:
a. Kapabilitas pemimpin
b. Kematangan pengikut
c. Situasi dan kondisi hubungan berpemerintahan (governance relation)
d. Visi dan misi yang diemban
b. Tata Pemerintahan Desa:
a. Pemerintah Desa
Kewenangan
Organisasi
Personil
Keuangan
Perlengkapan
Perencanaan
dokumentasi
b. BPD
Fungsi agregasi dan artikulasi
Fungsi legislasi
c. Tata Kemasyarakatan:
a. Sumber Daya Manusia
b. Sumber Daya Sosial Politik
c. Sumber Daya Sosial Ekonomi
d. Sumber Daya Sosial Budaya
e. Sumber Daya Sosial Agama
d. Tata Ruang:
a. Pemukiman
b. Infrastruktur perdesaan
c. Daya dukung lingkungan
2.3. Analisis SWOT Pengembangan Desa di Kecamatan Panyingkiran
2.3.1. Analisis Lingkungan Internal
2.3.1.1. Unsur Penguat
Jumlah penduduk yang cukup besar merupakan potensi SDM.
Mayoritas penduduk di pedesaan berusia produktif.
Stabilitas keamanan yang cukup kondusif
Laju pertumbuhan ekonomi yang posistif melalui pengembangan agribisnis.
Terdapatnya potensi SDA yang dapat mendukung percepatan dinamika perekonomian desa dan daerah.
Terdapatnya komoditas unggulan seperti Jambu Merah dan Mangga Gincu yang tersebar merata di hampir seluruh desa.
2.3.1.2. Unsur Kelemahan
Kualitas Sumber Daya Aparatur Pemerintah Desa umumnya masih rendah.
Terdapatnya tumpang tindih pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan umum di desa.
Belum lengkapnya aturan pelaksanaan tentang desa sebagai pedoman maupun landasan operasional penyelenggaraan pemerintahan desa.
Masih banyaknya masyarakat yang berada pada garis kemiskinan.
Sarana infrastruktur, terutama irigasi, jalan, dan jembatan masih kurang memadai.
Tingkat ketergantungan penduduk masih cukup tinggi.
Belum maksimalnya pemasaran produk-produk unggulan lokal karena keterbatasan akses pada pasar serta minimnya kemampuan manajemen pemasaran di perdesaan.
Terbatasnya SDM yang berkualitas di desa.
Rendahnya kemampuan perencanaan di tingkat desa.
2.3.2. Analisis Lingkungan Eksternal
2.3.2.1. Unsur Peluang
Adanya pemberian bagian dari Dana Perimbangan Kabupaten yang memperkuat aspek keuangan desa.
Pembinaan dan pengawasan dari kecamatan dan kabupaten (pemerintah supradesa) yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
Pengisian jabatan sekdes/pengangkatan sekdes menjadi PNS yang saat ini sedang dalam proses.
Pengembangan ekonomi dan kawasan perdagangan di wilayah Jawa Barat bagian timur.
Rencana pembangunan jalur transportasi (Jalan Tol Cileunyi Sumedang – Dawuan Cirebon) dan Bandara Internasional Majalengka, serta rencana pembangunan Pelabuhan Internasional Cirebon akan lebih memacu pertumbuhan sektor ekonomi daerah.
Rencana pembangunan Ring-road Majalengka yang melintasi dua desa di Kecamatan Panyingkiran.
Pengembangan pemanfaatan IPTEK dan TTG dalam usaha ekonomi perdesaan yang dapat dilakukan melalui berbagai upaya seperti melalui kerjasama secara saling menguntungkan dengan lembaga penelitian atau perguruan tinggi.
Adanya praktek-praktek lapangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat yang ikut mendorong peningkatan administrasi pemerintahan desa, pembangunan, dan kemasyarakatan.
2.3.2.2. Unsur Ancaman
Munculnya budaya konsumtif serta adanya kenaikan harga bahan pokok.
Tingginya kepemilikan tanah oleh pihak dari luar yang berdampak pada lambatnya proses pelunasan PBB di beberapa desa.
Terbatasnya alokasi dana/anggaran, yang berakibat terbatasnya operasional program/kegiatan.
Sarana dan prasarana penunjang operasional yang masih terbatas.
Kegiatan pertambangan Galian-C di beberapa desa menyebabkan, rusaknya jalan Pasir Muncang-Leuwiseeng, menurunnya daya dukung lingkungan, serta rawan bencana longsor pada musim hujan.
Masih lemahnya koordinasi antar sektor, yang diakibatkan belum mantapnya persepsi terhadap substansi serta kurangnya dukungan mekanisme peraturan tentang pengembangan otonomi desa, dan adanya kecenderungan arogansi sektoral dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan.
Pemberlakuan kebijakan tentang pengangkatan sekdes menjadi PNS dan penggantian perangkat desa yang tidak lagi memenuhi persyaratan merupakan permasalahan yang dapat menimbulkan konflik.
2.4. Formulasi Strategi
Berdasarkan gambaran tentang adanya faktor pendorong dan faktor penghambat yang diperkirakan akan berpengaruh dalam pelaksanaan pengembangan otonomi desa, maka perlu dianalisis strategi umum penanggulangannya. Untuk itu, digunakan formulasi strategi atas unsur-unsur kekuatan dan peluang (S-O), strategi atas unsur kekuatan dan ancaman (S-T), strategi atas unsur kelemahan dan peluang (W-O), serta strategi atas unsur kelemahan dan ancaman (W-T)
a. Strategi S-O : dilakukan untuk memanfaatkan kekuatan internal daerah/desa secara maksimal untuk dapat meraih berbagai peluang yang ada di lingkungan eksternal.
b. Strategi S-T : dilakukan untuk memanfaatkan kekuatan internal daerah/desa secara maksimal untuk dapat mengahadapi berbagai ancaman yang timbul dari lingkungan eksternal daerah/desa, serta berupaya agar ancaman tersebut dapat dikondisikan menjadi peluang baru bagi daerah/desa.
c. Strategi W-O : dilakukan untuk menekan kelemahan agar mampu mencapai maksimalisasi peluang yang timbul dari lingkungan eksternal daerah/desa.
d. Strategi W-T : dilakukan dalam rangka menekan kelemahan untuk bisa lebih terfokus dalam menangani berbagai ancaman yang timbul dari lingkungan eksternal daerah/desa.
Dengan menggunakan formulasi strategi tersebut, maka dihasilkan berbagai rekomendasi strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah, sebagai berikut:
2.4.1. Strategi S-O
1. Mendorong tumbuhnya kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, melalui bebagai strategi pemberdayaan masyarakat desa.
2. Mengembangkan modal intelektual sebagai salah satu modal untuk meningkatkan potensi ekonomi lokal pedesaan melalui konsep satu desa satu produk unggulan (one village one product), yang diikuti dengan dukungan pembinaan, permodalan, pengorganisasian, dan pemasaran dari instansi terkait.
3. Membentuk Desa Sentral yang berfungsi melayani kawasan perdesaan sekitarnya yang belum berkembang sebagai pusat pasar komoditas pertanian; pusat produksi; koleksi dan distribusi barang dan jasa; pusat pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah non pertanian; dan penyedia lapangan kerja alternatif.
4. Mendorong kegiatan ekonomi yang terintegrasi antara sektor pertanian (primer) dengan sektor industri (pengolahan) dan jasa penunjang, serta keterkaitan pembangunan antar kawasan.
5. Pemanfaatan SDA khususnya kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan pertambangan.
6. Meningkatkan kualitas SDM di perdesaan melalui pendidikan formal dan informal.
2.4.2. Strategi S-T
1. Jumlah penduduk pada usia produktif perlu ditingkatkan kapasitas dan kompetensinya sehingga mampu mengimbangi kemungkinan datangnya tenaga kerja dari luar daerah yang lebih kompetitif.
2. Membuka alternatif lapangan kerja berkualitas, yaitu kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, baik industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun industri kerajinan serta jasa penunjang lainnya yang masih sangat terbatas.
3. Meningkatkan aset yang dikuasai masyarakat perdesaan, yaitu petani yang memiliki tanah garapan sendiri serta penataan kembali terhadap kepemilikan tanah-tanah di desa.
4. Meningkatkan akses masyarakat desa ke sumber daya ekonomi seperti lahan/tanah, permodalan, input produksi, keterampilan dan teknologi, informasi, serta jaringan kerjasama.
5. Meningkatkan permodalan usaha masyarakat, melalui kebijakan penciptaan iklim usaha dan promosi potensi lokal dan desa bagi pengembangan investasi di pedesaan.
6. Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana perdesaan, misalnya, memperbaiki jaringan irigasi, pelayanan air bersih, perbaikan jalan, meningkatkan fasilitas pendidikan dan pelayanan kesehatan.
7. Intensi koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan secara terpadu akan melibatkan banyak aktor meliputi elemen pemerintah, masyarakat, dan swasta.
2.4.3. Strategi W-O
1. Letak geografis di kawasan perlintasan dengan tingkat mobilitas yang tinggi dpat dijadikan pangsa pasar produk-produk unggulan lokal yang selama ini kurang maksimal pemasarannya.
2. Pemberdayaan masyarakat perlu diarahkan agar mampu meraih segala peluang ekonomi dan pembangunan yang ada di desa.
3. Menguatkan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun pengembangan kawasan, melalui kebijakan pengwilayahan komoditas unggulan dan pengembangan usaha agrobisnis unggulan berdasarkan keunggulan wilayah (one village one product).
4. Membuka jalur distribusi dan perdagangan antar daerah di kawasan timur Jawa Barat untuk meningkatkan daya saing komoditas pertanian dan menghindari ekonomi biaya tinggi.
2.4.4. Strategi W-T
1. Melepaskan pemerintah desa dari ketidakberdayaan dan ketergantungan, baik secara ekonomi, sosial dan politik sehingga memiliki kemandirian.
2. Meminimalkan ketergantungan alam para petani dan pelaku usaha di kawasan perdesaan yaitu resiko kerugian usaha seperti gagal panen karena bencana maupun serangan hama penyakit.
3. Meningkatkan SDM lokal, dengan memberi kemampuan kepada mereka dalam bidang usaha dan kerja, juga sekaligus meningkatkan wawasan terhadap nilai-nilai lokal, sehingga mampu menangkal atau meminimalisasi dampak dari globalisasi.
4. Meningkatkan kondisi infrastruktur pembangunan sehingga akan memperbaiki kemampuan produksi di sektor agribisnis, melalui bertambahnya investasi di sektor ini yang mendorong penciptaan kesempatan kerja dan peluang untuk memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat.
5. Meningkatkan pemahaman tata pemerintahan yang baik di antara segenapa komponen yang berhubungan dengan pemerintahan desa, akan turut menjaga kemurnian otonomi desa, melalui berbagai pengawasan langsung, baik dari masyarakat desa sendiri maupun dari pemerintah supradesa.
2.5. Asumsi-asumsi
Asumsi adalah kondisi yang dipersyaratkan untuk dapat mencapai tujuan akhir dari rencana pengembangan otonomi desa, sebagai wujud dari keinginan seluruh komponen, baik pemerintah daerah, pemerintah desa, maupun masyarakat dan pihak lainnya. Asumsi ini juga berfungsi sebagai pedoman atau tolak ukur bagi keberhasilan pelaksanaan agenda kebijakan.
Beberapa hal yang dijadikan asumsi dasar sebagai kaidah dalam pelaksanaan pengembangan otonomi desa antara lain:
a. Adanya kejelasan dan ketegasan pelaksanaan kewenangan yang menjadi urusan desa yang disertai konsistensi pendanaan dan sistem administrasi keuangannya. Kejelasan itu utamanya diwujudkan melalui dukungan regulasi dan pembinaan yang konsekuen dari pemerintah daerah, yakni dalam bentuk pelimpahan sebagian kewenangan kabupaten yang penyelenggaraannya diserahkan kepada desa.
b. Perlu adanya Rencana Umum Pengembangan Otonomi Desa (RUPOD) untuk dijadikan acuan pokok bagi seluruh komponen pemerintah di semua tingkatan dalam melaksanakan masing-masing bidang kewenangannya, agar dicapai efisiensi, efektivitas, serta sinergitas pelaksanaan kebijakan.
c. Adanya stabilitas keamanan, politik dan ekonomi yang kondusif baik di tingkat lokal maupun nasional merupakan pendorong yang efektif dalam menjaga konsistensi pengembangan otonomi desa.
d. Pembiayaan seluruh substansi penegembangan otonomi desa senantiasa diposisikan sebagai stimulus bagi sasaran-sasaran yang hendak dicapai, utamanya agar tidak mematikan swadaya masyarakat.
e. Sinergitas tindakan dari seluruh unsur penyelenggara pemerintah supradesa (DPRD dan eksekutif daerah), serta dukungan dan pengawasan sosial dari masyarakat sangat diperlukan.
f. Ketersediaan data yang akurat sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pengembangan otonomi desa yang dituangkan dalam perencanaan kebijakan, program dan kegiatan.
2.6. Konsepsi Rencana Umum Pengembangan Otonomi Desa (RUPOD)
Kebijakan pengembangan otonomi desa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan umum pembangunan pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, yang telah dituangkan dalam berbagai dokumen perencanaan, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek. RUPOD sebagai perencanaan jangka menengah, minimal mengacu pada RPJM Nasional maupun RPJM Daerah.
Visi pengembangan otonomi desa harus tetap mengacu kepada visi RPJMD; yang merupakan visi akselerasi, karena RUPOD merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kerangka RPJMD. Dalam rangka mewujudkan visi akselerasi tersebut, dilaksanakan melalui 4 (empat) misi yang di rumuskan sebagai berikut:
1. Meningkatkan Kapasitas Tata Kepemimpinan Desa;
Meningkatkan kemampuan kepala desa melalui diklat dan pendampingan dari pemerintah supradesa;
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses kepemimpinan kepala desa;
Menciptakan situasi dan kondisi hubungan yang ideal antara masyarakat dengan pemerintah desa;
Memberikan pemahaman tentang visi dan misi kepala desa kepada masyarakat.
2. Meningkatkan Kapasitas Tata Pemerintahan Desa;
a. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa
Optimalisasi pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh desa;
Penataan kelembagaan/organisasi pemerintah desa;
Pembinaan aparat pemerintahan desa melalui penataa personil, peningkatan kualitas SDM, pengembangan kompetensi aparat desa;
Peningkatan efektivitas dan optimalisasi penerimaan dan pengelolaan, serta pertanggungjawaban keuangan desa;
Peningkatan ketersediaan dan optimalisasi pemanfaatan perlengkapan/sarana dan prasarana pemerintahan desa serta unsur penunjang lain (teknologi);
Peningkatan efektivitas fungsi perencanaan melalui optimalisasi forum dan lembaga perencanaan di tingkat desa;
Peningkatan efektivitas fungsi pengawasan, baik secara internal maupun eksternal;
Pendayagunaan fungsi dokumentasi dan kearsipan administrasi desa.
b. Peningkatan Kapasitas BPD
Mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi BPD;
Mengoptimalkan fungsi legislasi BPD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
3. Meningkatkan Kapasitas Tata Kemasyarakatan Desa;
a. Peningkatan Kapasitas SDM
Pendidikan;
Kesehatan;
Daya Beli.
b. Peningkatan Kapasitas Sosial Politik
Partisipasi dan kesadaran berpolitik masyarakat desa;
Stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
c. Peningkatan Kapasitas Sosial Ekonomi
Pengembangan infratrusktur dan suprastruktur perekonomian desa;
Meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi desa dan masyarakat desa.
d. Peningkatan Kapasitas Sosial Budaya
Mengembangkan kekayaan seni dan adat istiadat serta membina kelompok-kelompok kesenian tradisional yang ada di desa;
Membina lembaga/organisasi kemasyarakatan yang ada di desa seperti PKK dan Karang Taruna;
Membina kehidupan tradisional dan memelihara serta membina keberadaan lembaga adat di desa.
e. Peningkatan Kapasitas Sosial Agama
Membina kerukunan dan toleransi kehidupan beragama;
Membina dan mengembangkan organisasi kerohanian yang ada di desa seperti DKM, Pemuda/Remaja Masjid, Majelis Ta’lim.
Peningkatan kualitas dan ketersediaan sarana beribadah.
4. Meningkatkan Kapasitas Tata Ruang dan Lingkungan.
Peningkatan infrastruktur pedesaan;
Peningkatan kualitas pemukiman penduduk;
Peningkatan kualitas daya dukung lingkungan.
PENUTUP
Menghadapi dinamika dan tantangan otonomi desa ke depan, perlu kiranya ada suatu kebijakan umum pengembangan otonomi desa sebagai salah satu upaya untuk lebih mengarahkan dan mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan desa secara komprehensif, terpadu dan terkoordinasi dalam rangka pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Pengembangan otonomi desa hendaknya diarahkan pada misi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dengan lebih mendekatkan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat. Konsistensi pengembangan desa harus didukung dengan komitmen, kesadaran serta partisipasi aktif seluruh pihak yang berkepentingan terhadap kemajuan desa, sebagai wadah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Secara umum, keberhasilan pengembangan desa akan sangat tergantung kepada kemampuan aparatur pemerintah supradesa dan pemerintah desa, serta segenap komponen (stakeholders) yang terkait dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, dalam memahami dan memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki.
Secara khusus, tingkat keberhasilan pencapaian target (kualitatif dan kuantitatif) yang ditetapkan, lebih banyak tergantung pada input dari berbagai aspek untuk pengembangan otonomi desa. Hal tersebut mencakup pembiayaan (besarnya APBD yang tersedia), ketersediaan sarana dan prasarana, pengorganisasian dan personalia, koordinasi antar instansi, serta komitmen, kualitas dan kuantitas pelaksananya. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas dalam pelaksanaan pengembangan otonomi desa antara berbagai sektor dan tingkatan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah yang paling dekat dengan desa.
Makalah ini disusun dan disampaikan dalam kegiatan Seminar Praktek Magang IPDN Tahun 2008 Oleh Tim Magang Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Posted by
Unknown
0 comments:
Posting Komentar